Wednesday, 23 May 2012

Mie sagu Riau

Mi Sagu Produksi Pesantren Siap menembus Pasar

Oleh : Ir. Sulusi Prabawati, MS


Beberapa tahun terakhir terdapat ancaman perubahan makanan pokok penduduk dari sagu dan ubi beralih ke beras. Fakta lain, telah terjadi peningkatan konsumsi terigu utamanya dalam bentuk mi instan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pergeseran pola makan, yaitu pola makan bukan nasi menjadi nasi ditambah dengan mi instan dari terigu. Salah satu alas an peningkatan konsumsi mi instan adalah praktis dan mudah menyajikannya. Mi instan adalah mi yang sudah dimasak terlebih dahulu dan dicampur dengan minyak, dan siap disajikan untuk konsumsi hanya dengan menambahkan air panas dan bumbu. Sejarah menunjukkan bahwa mi instan sudah ada sejak jaman dinasti Qing di China, yaitu mi yimian yang digoreng (deep fried) agar tahan lebih lama. Mi instan moderen diciptakan oleh Momofuku Ando pada tahun 1958, yang kemudian mendirikan perusahaan Nissin dan menghasilkan produk mi instan pertama di dunia Chikin Ramen (ramen adalah sejenis mi Jepang). Mi instan berkembang terus, dan meledak mulai tahun 1971 saat Nissin memperkenalkan Cup Noodle (Mi Gelas), produk mi instan dalam wadah styrofoam tahan air yang bisa digunakan untuk memasak mi tersebut. Inovasi berikutnya termasuk menambahkan sayuran kering sebagai pelengkap ke dalam mi gelas tersebut.


Saat ini, Indonesia adalah produsen mi instan terbesar di dunia, untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan ekspor. Peningkatan konsumsi mi instant tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lainnya. Perkiraan WINA (World Instant Noodles Association) tahun 2007, China plus Hongkong mengonsumsi mi instan tertinggi di dunia, yaitu lebih dari 50 milyar bungkus. Namun, karena jumlah penduduknya juga sangat besar (Iebih 1,3 milyar) maka rata-rata konsumsinya adalah 37,7 bungkus/kapita/tahun. Masih lebih rendah dari Indonesia, Korea, Vietnam, Jepang dan Malaysia. Indonesia mengonsumsi 14,99 milyar bungkus, atau rata-rata 65,2 bungkus per kapita/tahun, sedikit di atas konsumsi orang Korea yaitu 64,4 bungkus per kapita/tahun dan Jepang dengan 42 bungkus per kapita/tahun. Begitu banyak kelebihan mi instan sehingga orang makin menyukainya. Namun, konsumsi terus-menerus perlu memerhatikan tingginya kandungan garam natrium di dalamnya. Kadar garam natrium dalam mi instan bervariasi, ada yang mencapai 900 mg, dan banyak yang mencapai 1040 mg, 1240 mg, bahkan 1430 mg per bungkus. Untuk Kadar natrium 1430 mg/bungkus berarti

konsumsi satu bungkus mi tersebut telah dapat memenuhi 60% kebutuhan natrium. Asupan natrium adalah 2300 mg/hari bagi orang dewasa, dan 1500 mgl hari bagi orang dengan risiko tekanan darah tinggi. Dengan demikian konsumsi mi instan terus-menerus berbahaya bagi penderita hipertensi. Oleh karena itu, untuk menikmati hidangan mi yang lebih sehat dan variatif, maka aneka mi yang sudah banyak di pasaran seperti mi bihun, mi jagung, mi ganyong, mi singkong yang populer dengan nama: mi Bendo atau mi lethek dari Yogyakarta dan Jateng, atau mi sagu yang terkenal dengan sebutan mi gleser (Bogor dan Sukabumi Jawa Barat) dapat menjadi pilihan diversifikasi konsumsi mi.

Keistimewaan mi sagu

Mi sagu pun punya cerita tersendiri, dibuat 100% dari pati sagu (Metroxylon, sp). Teknik pembuatannya mudah, meskipun pati sagu tidak memiliki gluten - suatu jenis protein pada terigu yang berperan penting dalam pembentukan adonan mi. Adonan yang dibuat tidak berbentuk lembaran seperti pada pembuatan mi terigu tetapi dengan membuat "Iem sagu" sebagai pengikat, kemudian pati sagu kering dicampurkan dan diaduk hingga terbentuk adonan licin kemudian dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih sampai mengapung dan direndam dalam air dingin mengalir, kemudian ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi tidak saling melengket, mi dilumuri dengan minyak sayur. Mi sagu memiliki karaktetistik sedikit kenyal, menjadi hidangan yang enak setelah dimasak menjadi mi goreng, mi kuah ikan, mi kuah tom yam, mi saus kacang, mi saus daging, ataupun yang berselera moderen seperti mi scootel dan lainnya. Menyantap mi sagu memberi efek mengenyangkan yang lebih lama, karena setelah dikaji lebih mendalam, sesungguhnya mi sagu menyimpan manfaat atau khasiat bagi kesehatan kita. Penelitian yang dilakukan oleh BB-Pascapanen memperlihatkan mi sagu mempunyai kandungan resistant starch (RS) atau pati tak tercerna 45 mg/g atau 4-5 kali lebih besar dibandingkan dengan mi instan terigu. Penelitinya menuturkan bahwa RS dihasilkan pada saat proses pengolahan mi dan memicu rekristalisasi pati yang dikenal dengan retrogradasi. Pati retrogradasi merupakan salah satu sumber pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem pencernaan manusia. Menurut Marsono yang banyak meneliti bahan pangan, menyebutkan bahwa RS memiliki sifat seperti serat makanan yang dapat mengikat asam empedu, meningkatkan volume feses serta dalam pencernaan menghasilkan sedikit kalori.



Produksi Pesantren, siap menembus pasar

Produksi mi sagu dengan merek Mi Metro dilakukan oleh Pesantren AI Qur'an Wal Hadis, Bogor dengan bimbingan para peneliti BB-Pascapanen. Merek mi Metro diambil dari nama latin sagu yaitu Metroxylon, sp. Pada awalnya produksi mi sagu hanya menggunakan alat pencetak mi manual, kapasitas kecil, tiap adonan 600 gram dan lama tiap proses 10 menit. Sekarang produksi telah meningkat menjadi 2 kg tiap 7 manit proses, menggunakan serangkaian peralatan pembuatan mi yang dibeli dari dana bantuan program LM3 Ditjen PPHP. Meski usaha tersebut terbilang masih skala kecil, namun mutu produk dapat diandalkan. Pembinaan mutu dilakukan dengan menerapkan system produksi yang higienis, meliputi kebersihan bahan baku, ruang pengolahan, peralatan dan pekerja. Para pekerja yang nota bene warga pesantren, menggunakan pakaian khusus, sarung tangan, penutup mulut dan penutup kepala. Dengan proses yang higienis ini, mi Metro memiliki daya simpan 1 minggu tanpa pendinginan, dan 1 bulan dalam pendingin 100C (kulkas). Pemasaran yang telah terbentuk adalah melalui pesanan langsung ke Pesantren, yang berlokasi di Situgede, Bogor, atau melalui telepon 0251.8622314 yang akan dilayani dengan ramah, oleh Miftah dan kawankawan, bahkan order khusus dapat diantar ke tempat pelanggan di Bogor. Apabila datang langsung ke pesantren, punya keuntungan lebih, jika sedang proses bisa menyaksikan cara pembuatan mi Metro. Pemasaran tidak hanya di wilayah Bogor, tapi sudah sampai Jakarta, tentunya saat ada pesanan khusus. Jika di Jakarta atau sekitar Bogor ada yang ingin memasarkan mi sehat ini,

tinggal hubungi saja Pesantren AI Qur'an Wal Hadist.

Dengan mengolah sagu menjadi mi yang mudah penyajiannya dan rasanya juga enak, maka masyarakat memiliki pilihan makanan dari sagu. Mi sagu mudah pembuatannya, sehat bagi tubuh dan berasal dari tanaman yang tumbuh di Indonesia, sehingga mendukung program diversifikasi pangan yang digalakkan pemerintah.



Ir. Sulusi Prabawati, MS

Penulis dari BBP Pascapanen

Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 1 April 2009

0 komentar:

Post a Comment